Oleh : Ansyori Ali Akbar |Kamis|4.9.2025.
Di jantung Kabupaten Tulang Bawang Barat, tepatnya di kawasan kota budaya Uluan Nughik, berdiri megah sebuah patung yang bukan sekadar ornamen kota. Ia adalah Patung Tarian Cinta, yang mengabadikan sosok Suhunan Riah—simbol urban yang sarat makna. Lebih dari sekadar representasi visual, patung ini adalah pengingat abadi bagi masyarakat Tubaba tentang urgensi menjaga kelestarian alam. Suhunan Riah adalah personifikasi mendalam dari ecofeminisme, sebuah perspektif filosofis yang melihat adanya jalinan tak terpisahkan antara penindasan terhadap perempuan dan eksploitasi alam.
Melalui simbol ini, disuarakan imperatif untuk mengadopsi pendekatan biocentris yang lebih manusiawi, protektif, dan adil terhadap lingkungan, dengan mengedepankan prinsip-prinsip sustainability sebagai fondasi.

Rancangan Patung Suhunan Riah yang abstrak memvisualisasikan sosok perempuan menari dengan keanggunan dan kelembutan yang memukau, layaknya seorang dewi yang penuh daya. Ia adalah manifestasi inisiasi yang kuat dalam menjaga kelestarian alam dan merawat kehidupan, sebagaimana seorang ibu yang dengan penuh kasih merawat anaknya, menjadi sumber kehidupan dan harapan di masa depan.
Kawasan Kota Budaya Uluan Nughik sendiri adalah buah dari visi yang matang, dibangun dan didesain dengan prinsip-prinsip planologi modern yang bertujuan untuk menghadirkan kenyamanan, rasa aman, dan ketertiban bagi seluruh masyarakat Tulang Bawang Barat.
Sarana dan prasarana di kota budaya ini dirancang dengan standar internasional, baik dari segi dimensi maupun tata guna lahan yang berkelanjutan. Masyarakat Tulang Bawang Barat senantiasa berupaya mewujudkan Harmoni Kosmis, sebuah konsep luhur yang mengacu pada tatanan, keteraturan, dan keselarasan alam semesta beserta seluruh isinya, yang dipandang sebagai sistem yang indah dan teratur. Keseimbangan yang harmonis antara dunia kecil (mikrokosmos) dan dunia besar (makrokosmos) diharapkan dapat mewujudkan habitat dan ekosistem yang ideal, sebuah impian bagi setiap individu untuk dapat hidup di dalamnya.
Dalam proses transformatif untuk mencapai kondisi ideal tersebut, Ir. Umar Ahmad mencetuskan diksi “TUBABA”. Tubaba bukan sekadar akronim dari Tulang Bawang Barat, melainkan sebuah gerakan kolektif, sebuah sikap bersama dari seluruh masyarakat Tulang Bawang Barat untuk berkolaborasi dan mewujudkan kondisi ideal yang dicita-citakan. Maka, untuk benar-benar “pulang ke masa depan”, kita semua perlu ber-Tubaba.
Kota Budaya Uluan Nughik dibangun dengan fondasi tata ruang modern, yang mengedepankan keamanan, kenyamanan, dan keteraturan sebagai prioritas utama. Salah satu elemen kunci yang menjadi perhatian adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Kehadiran RTH bukan hanya berfungsi untuk memperindah lansekap kota, tetapi juga berperan vital sebagai paru-paru kota, menjaga kualitas udara tetap bersih dan segar, mengurangi polusi yang meresahkan, menampung resapan air hujan untuk mencegah banjir, serta menyediakan ruang interaksi sosial yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat.
Saat ini, kawasan ini telah bertransformasi menjadi salah satu destinasi wisata baru yang paling menarik di Lampung. Masyarakat lokal dan wisatawan dari berbagai daerah dapat menikmati keindahan seni patung yang memukau, arsitektur kota yang modern dan berestetika tinggi, sekaligus merasakan suasana sejuk dan teduh dari RTH yang tertata rapi.
Perpaduan harmonis antara budaya, seni, dan alam ini menjadikan Tubaba sebagai tempat yang ideal untuk belajar, berwisata, dan melepaskan diri dari hiruk pikuk kehidupan kota besar yang melelahkan.