Oleh: Zuli Hendriyanto Syahrin
Indonesia, sebuah negeri yang katanya kaya raya, sayangnya masih terus bergelut dengan masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial. Untuk menanggulangi ini berbagai skema bantuan sosial (bansos) digulirkan Pemerintah, sesuai dengan amanat konstitusi Pasal 34 UUD 1945 yang menegaskan tanggung jawab negara terhadap fakir miskin dan anak-anak telantar.
Tapi mengejutkan, data temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) baru-baru ini sungguh menampar wajah kita. Lebih dari 41.000 rekening terindikasi menerima bansos adalah milik orang-orang yang punya kemampuan finansial. Di antara mereka, ada 27.932 pegawai BUMN, 7.479 dokter, dan lebih dari 6.000 eksekutif atau manajer. Kita patut berikan apresiasi kepada kinerja PPATK yang telah menemukan ketidakadilan ini.
Angka-angka ini merupakan cermin buram dari mentalitas yang rusak. Ketika orang-orang mampu secara finansial turut menikmati bansos, kita patut bertanya, apakah moralitas dan empati oknum-oknum dalam masalah ini telah lenyap dari sanubari mereka?
Pandangan saya ini mendesak tindakan nyata untuk keadilan sosial. Pemerintah saat ini dengan dukungan penuh Bapak Presiden Prabowo Subianto, harus memastikan rakyat yang kurang mampu mendapatkan haknya, dan tindak tegas setiap penyimpangan untuk kepastian hukum.
Mari kupas tuntas masalah bansos dan solusi yang perlu dipertimbangkan.
*A. Masalah yang Mengakar, Menggerogoti Dana Rakyat yang Tidak Mampu*
Dalam bertindak perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam, mengenai beberapa sumber masalah terkait bansos, agar langkah-langkah yang diambil bisa lebih tepat sasaran, berikut gambaranya:
*1. Jebakan Data Ganda dan Ketiadaan Sinkronisasi*
Pendataan penerima bansos selama ini sudah carut marut yang sulit dimaafkan. Data yang dihimpun secara terpisah, tumpang tindih, dan tidak terintegrasi. Hal ini membuka celah lebar bagi pendaftaran ganda dan penyalahgunaan data. Masalahnya bukan pada teknologi, melainkan pada mentalitas birokrasi yang malas dan tidak mau bekerja sama. Setiap kementerian/lembaga masih ego sektoral dengan data mereka sendiri, tanpa menyadari bahwa perbedaan ini adalah lahan basah bagi para koruptor.
UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin dan Perpres Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik (SPBE) sudah ada, tetapi implementasinya masih sangat lemah. Temuan dari BPK pada tahun-tahun sebelumnya seringkali mengindikasikan adanya data ganda, misalnya penerima yang sudah meninggal, atau penerima yang tidak tepat sasaran akibat verifikasi yang tidak rutin.
*2. Pengawasan Tumpul dan Keengganan Menindak*
Pengawasan bansos seolah hanya formalitas. Meskipun aparat penegak hukum menemukan indikasi kecurangan, tindak lanjutnya seringkali berhenti di tengah jalan. Ketumpulan pengawasan ini bukan karena kekurangan aturan, melainkan karena ketiadaan political will dan keberanian untuk menindak tegas. Ada dugaan kuat bahwa oknum-oknum di balik penyalahgunaan bansos adalah mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh.
Penegak Hukum Kejagung, KPK, Polri telah menangani beberapa kasus korupsi bansos, yang membuktikan bahwa penindakan hukum memang bisa dilakukan, namun belum masif dan menyeluruh. Sejak tahun 2020 ada 131 lebih kasus penyelewengan bansos yang ditangani, menunjukkan skala masalah yang luas.
UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, seharusnya menjadi dasar penindakan yang kuat.
*3. Eksploitasi Politik dan Jaring-jaring Nepotisme*
Bantuan sosial diduga seringkali dijadikan alat politik oleh oknum pejabat. Daftar penerima bansos disusun berdasarkan kedekatan politik, bukan berdasarkan kelayakan. Bansos telah menjadi komoditas politik yang diperjualbelikan. Para politisi terindikasi menjual mimpi kepada rakyat miskin dengan iming-iming bansos, padahal bansos adalah hak rakyat yang seharusnya tidak perlu dipertukarkan dengan suara. Laporan Bawaslu mencatat adanya dugaan politik uang melalui penyaluran bansos.
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan PKPU yang melarang politik uang seharusnya ditegakkan dengan tegas, namun penegakannya masih lemah, terutama saat momentum pemilu nasional dan pilkada.
*4. Kelemahan Sistem Penyaluran Bansos*
Penyaluran bansos yang masih bantuan tunai membuka celah untuk pemotongan, manipulasi jumlah, dan bahkan penerima yang fiktif. Mengapa kita masih mempertahankan bantuan yang rentan korupsi tanpa perbaikan sistem ? Jawabannya adalah, karena sistem ini menguntungkan para mafia bansos yang bisa bermain di celah-celah tersebut.
Meskipun Perpres Nomor 166 Tahun 2014 tentang Sistem Bantuan Sosial mengamanatkan penyaluran non-tunai, implementasinya tidak merata. Penyaluran bansos tunai masih sering terjadi di banyak daerah, membuka celah untuk praktik pemotongan oleh oknum. Sebuah studi kasus menunjukkan bagaimana oknum pendamping bansos di daerah memanfaatkan minimnya pengetahuan penerima dengan menahan Kartu Keluarga Sejahtera dan memotong nominal bantuan.
*5. Keterbatasan Partisipasi Publik dan Transparansi*
Informasi mengenai data penerima, jumlah bansos, dan mekanisme penyaluran tidak transparan dan tidak mudah diakses oleh publik. Tanpa keterlibatan publik yang aktif, pengawasan akan selalu lemah. Oknum Pemerintah sengaja menciptakan ruang yang gelap agar kecurangan bisa terus berjalan tanpa terdeteksi.
UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) adalah payung hukumnya, namun data penerima bansos seringkali dipersulit aksesnya dengan dalih kerahasiaan, meskipun lembaga masyarakat mencatat adanya 239 lebih temuan dan aduan warga terkait pemotongan dan pungutan liar bansos.
*6. Ketiadaan Sanksi Sosial dan Moral*
Penerima bansos yang tidak layak, seperti pegawai BUMN atau dokter, seringkali tidak mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat. Kita sebagai masyarakat juga bertanggung jawab. Kita terlalu pasif, terlalu permisif, dan terlalu takut untuk saling mengingatkan. Korupsi bansos ini sulit terjadi jika ada perlawanan dari masyarakat. Tidak ada regulasi khusus, namun sanksi sosial adalah kekuatan moral yang seharusnya menjadi tameng bagi Bangsa Indonesia.
*7. Lemahnya Koordinasi Lintas Sektor*
Ini adalah masalah struktural yang paling sulit diatasi. Berbagai kementerian/lembaga memiliki data yang berbeda dan belum terintegrasi secara nasional. Kementerian Sosial memiliki DTKS, BKN memiliki data kepegawaian ASN, BPJS Ketenagakerjaan memiliki data pekerja, dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memiliki data anggotanya. Tanpa integrasi data, verifikasi otomatis tidak akan bisa dilakukan secara efektif. Perpres Nomor 18 Tahun 2021 tentang SPBE seharusnya menjadi payung hukum untuk integrasi data, namun praktiknya masih jalan di tempat.
*8. Arogansi Pihak Mampu yang Merasa Berhak*
Pegawai BUMN, dokter dan eksekutif yang terindikasi menerima bansos mungkin merasa tidak bersalah dan bisa jadi menganggap bansos sebagai tambahan pendapatan. Ini adalah puncak dari krisis moral bangsa. Mereka yang sudah berkecukupan justru serakah, menggerogoti hak orang-orang yang membutuhkan. Mereka tidak hanya merugikan keuangan negara, mereka menyakiti harapan orang yang sangat tidak berkecukupan.
Hal ini adalah pelanggaran terhadap etika profesi dan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar. Bahkan, temuan PPATK menunjukkan adanya penerima bansos yang memiliki saldo besar, memperkuat bukti arogansi dan ketidakpedulian ini.
*B. Solusi Mendesak Perubahan Besar Dan Tindakan Nyata*
Perbaikan sistem bantuan sosial adalah sebuah keharusan. Perlu dilakukan perombakan besar yang lebih tepat. Untuk menciptakan sistem yang efisien, efektif lebih adil dan tegas, perlu dijalankan beberapa solusi berikut ini:
Pertama, Pemerintah harus segera mengintegrasikan seluruh data kependudukan (Dukcapil), data kepegawaian (BKN), data BPJS, dan data perbankan dalam satu super database. Sistem ini harus memiliki audit digital yang secara otomatis menolak pendaftar yang memiliki penghasilan di atas UMP.
Perlu mempercepat implementasi Perpres 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia dan Perpres Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik (SPBE), yang menjadi landasan hukum kuat untuk integrasi data secara nasional dan mencegah tumpang tindih.
Kedua, Pemerintah wajib membuka data penerima bansos secara lengkap, transparan, dan dapat diakses oleh publik melalui website atau aplikasi. Setiap warga harus memiliki hak untuk melaporkan jika menemukan data yang janggal. Untuk memperkuat hal ini, implementasi UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) harus dipertegas, dan perlu dibuat regulasi turunan yang secara spesifik mengatur pembukaan data penerima bansos tanpa melanggar perlindungan data pribadi.
Ketiga, Bansos harus bisa disalurkan melalui sistem non-tunai, seperti kartu debit atau dompet digital yang terintegrasi. Hal ini akan meminimalkan praktik pemotongan dan manipulasi. Penegasan terhadap Perpres Nomor 166 Tahun 2014 tentang Sistem Bantuan Sosial harus ditegakkan tanpa kompromi, dan perlu adanya kolaborasi dengan lembaga keuangan digital untuk memastikan sistem ini berjalan efektif dan efisien.
Keempat, Aktor di balik penyelewengan bansos tidak hanya perlu dihukum, tetapi juga dikenakan sanksi pidana pencucian uang. Seluruh harta yang didapat dari praktik kotor ini harus disita untuk dikembalikan ke kas negara dan dipergunakan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.
Terapkan secara maksimal UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yang menjadi dasar untuk menindaklanjuti kasus-kasus penyelewengan bansos dengan sanksi yang lebih kuat.
Kelima, Pejabat atau aparat negara yang terbukti terlibat dalam penyelewengan bansos harus segera dicopot dari jabatannya dan dipecat secara tidak hormat. Penerapan disiplin harus berdasarkan PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS/ASN. Selain itu, untuk pegawai non-PNS seperti pegawai BUMN, sanksi tegas harus diatur dalam peraturan internal perusahaan yang mengacu pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Keenam, Bentuk tim gabungan yang terdiri dari Kementerian terkait, PPATK, Kejaksaan Agung, KPK, Polri, BPK, BPKP untuk melakukan audit mendalam terhadap seluruh data penerima bansos dan menindaklanjuti temuan PPATK. Kerja sama ini dapat diperkuat dengan Peraturan Bersama atau Nota Kesepahaman (MoU) antara lembaga penegak hukum yang relevan, serta penguatan peran BPKP untuk audit internal yang lebih ketat.
Ketujuh, Organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan asosiasi-asosiasi manajer harus membuat kode etik yang tegas dan memberikan sanksi moral serta sanksi profesi kepada anggotanya yang terbukti menerima bansos secara tidak layak.
Peraturan internal organisasi profesi harus diperkuat dan ditegakkan, dan bisa mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan terkait lainnya yang menekankan pentingnya integritas dan etika.
Kedelapan, Pemerintah harus menggencarkan kampanye edukasi tentang pentingnya kejujuran, integritas, dan empati. Bansos harus dikembalikan pada esensi awalnya, bantuan untuk mereka yang paling membutuhkan, bukan ajang bagi kaum mampu untuk semakin serakah.
Pendidikan moral ini dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan formal maupun kampanye publik yang masif, sejalan dengan tujuan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional untuk membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
*Sebuah Panggilan untuk Bertindak Lebih Keras*
Temuan PPATK ini adalah alarm keras bagi bangsa ini. Ini bukan hanya tentang 41.000 rekening, tetapi tentang krisis moral yang lebih dalam. Bansos yang seharusnya menjadi simbol kepedulian negara, kini dinodai oleh tangan-tangan kotor yang serakah. Mereka tidak hanya mengambil uang negara, mereka mengambil kepercayaan rakyat, dan yang lebih parah, mereka mengambil harapan orang-orang yang masih terjebak dalam kemiskinan.
Dibawah Kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto, saatnya Pemerintah mewujudkan keadilan sosial, bertindak tanpa pandang bulu, dan tanpa kompromi untuk berantas mafia bansos. Kita harus membuktikan bahwa Indonesia bukan negara yang hanya pandai membuat aturan, tetapi juga negara yang berani menegakkannya.
Jika tidak, maka tragedi ini akan terus berulang, dan kita akan terus menyaksikan yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin terus tergerus oleh ketidakadilan yang merajalela. Transparansi, dan keadilan sosial harus terus digelorakan, demi masa depan Bangsa Indonesia yang lebih berintegritas dan berkeadilan.
Kamis, 14 Agustus 2025