Jakarta, Seruntingnews.Id. – Komaruzzaman, S.H., M.H., advokat dan Ketua Bidang Hukum DPP Masyarakat Pendukung Gibran (MPG), memberikan pandangan kritis terhadap perkembangan hukum di Indonesia. Senin,(4/8/)
Ia menyebut sistem hukum saat ini seperti tarik tambang; siapa yang kuat, dialah yang menang. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa di balik setiap pihak yang berseteru, selalu ada kekuatan lain yang mendukung. Menurutnya, campur tangan politik dalam hukum menjadi ancaman serius bagi tegaknya keadilan. “Fiat justitia ruat caelum,” tegasnya, menekankan pentingnya penegakan keadilan meskipun menghadapi tantangan besar.
Komaruzzaman menyoroti realita hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ia mengungkapkan bahwa masyarakat kecil, terutama yang awam hukum, menjadi korban ketidakadilan paling banyak. Ia mencontohkan permasalahan pertanahan, yang semakin kompleks sejak maraknya perusahaan perkebunan. Banyak rakyat yang tidak memiliki surat kepemilikan lahan, hanya mengandalkan segel atau surat pengakuan hak yang lemah secara hukum. Akibatnya, mereka sering kalah dalam persidangan melawan perusahaan besar. Meskipun pengadilan memutuskan perkara berdasarkan bukti dan keyakinan hakim, belum tentu pihak yang menang adalah pihak yang benar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terkait kebijakan pemerintah yang akan mengambil alih tanah masyarakat yang tidak dikelola selama dua tahun, Komaruzzaman menilai kurangnya sosialisasi menjadi penyebab kegaduhan. Ia menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2021 hanya berlaku untuk Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai, bukan Hak Milik (SHM). Ia menekankan bahwa masyarakat yang memiliki SHM tidak perlu khawatir, karena baru akan diambil pemerintah setelah 20 tahun terlantar. Ia menambahkan bahwa sebagian besar HGU justru dikuasai oleh pengusaha.
Ia menyarankan pemerintah untuk menyelidiki kasus-kasus hilangnya tanah rakyat yang diduga diakibatkan oleh oknum perusahaan yang bekerja sama dengan pemerintah setempat, yang ia sebut sebagai indikasi mafia tanah.
Menanggapi penolakan hakim terhadap bukti meringankan (“a de charge”) yang diajukan Nikita Mirzani, Komaruzzaman menyatakan bahwa sebagai advokat, ia tidak akan menilai suatu perkara yang masih berproses. Namun, ia menekankan pentingnya hak terdakwa untuk membela diri. Ia juga memberikan pendapatnya mengenai kasus suap untuk menutup mulut terkait kejahatan: itu bukan pemerasan, melainkan kesepakatan, meskipun kesepakatan yang tidak baik.
Terakhir, terkait amnesti dan abolisi yang diberikan Presiden kepada Hasto dan Tom Lembong, Komaruzzaman menyatakan menghormati keputusan tersebut, karena merupakan hak Presiden yang diberikan oleh undang-undang, khususnya jika demi kepentingan bangsa dan negara. Tutupnya. (Red)
.