Oleh: Ansyori Ali Akbar (Mewakili Suara Jurnalis Tubaba)
Di Tubaba, kebenaran berbisik di antara retakan aspal, dihembuskan oleh jurnalis yang meratap di tanah yang gersang. Tangis Tubaba di Persimpangan Jalan adalah jeritan kami.
Di balik wajah elok Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba), tersembunyi luka menganga yang tak kasat mata. Kami adalah para jurnalis di sini, yang seharusnya menjadi penoreh kebenaran, namun kini terkapar dalam perih. Kami, yang berani menyuarakan fakta dan mengkritisi kebijakan, kini merasakan sakitnya dikhianati dan diabaikan.
Senin mendatang, 8.9.25, jalanan Tubaba akan menjadi saksi bisu dari ratapan kami. Kami, para jurnalis Media Tubaba Bersatu, akan turun bukan sebagai pembawa berita, melainkan sebagai korban yang merindukan keadilan. Kami menuntut transparansi anggaran di Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Tubaba, sebuah lembaga yang seharusnya menjadi oase di padang pasir, namun kini menjelma menjadi fatamorgana yang menyesatkan.
Mengapa kami harus mengemis keadilan di jalanan yang berdebu? Mengapa pena kami yang dulu tajam kini berkarat dan berlumuran air mata? Jawabannya adalah luka yang menganga di tubuh pers Tubaba, sebuah luka yang terasa begitu perih dan sulit disembuhkan:
– Dana yang seharusnya menjadi sumber kehidupan bagi kami, dirampok dengan keji, meninggalkan kami dalam kemiskinan dan keputusasaan. Setiap berita yang gagal ditulis karena kekurangan biaya, adalah luka baru yang menggores hati kami. Kami merasakan sendiri bagaimana sulitnya mencari sesuap nasi di tengah himpitan ekonomi.
– Akses informasi yang dipersulit dengan alasan yang tak masuk akal, adalah bentuk penistaan terhadap hak-hak kami. Kami merasa seperti budak yang dipaksa bekerja tanpa upah, seperti tahanan yang dipenjara dalam ketidakberdayaan. Kami seringkali harus berjuang keras untuk mendapatkan informasi yang seharusnya menjadi hak kami sebagai jurnalis.
– Ancaman yang membayangi, intimidasi yang menghantui, adalah bagian dari keseharian kami. Jurnalis yang berani mengungkap kebenaran seringkali menjadi sasaran ancaman yang mengerikan. Kami diintimidasi, diteror, bahkan diancam akan dibunuh. Kami semua pernah merasakan getirnya ancaman karena menulis berita yang dianggap mengganggu pihak tertentu.
Bayangkan, bagaimana mungkin seorang jurnalis dapat menulis berita yang jujur jika mereka harus berjuang untuk sekadar bertahan hidup? Bagaimana mungkin kami dapat mengkritisi penguasa jika kami merasa terancam dan ketakutan? Ini bukan hanya soal uang, tetapi tentang kemanusiaan, keadilan, dan hak untuk hidup dengan damai.
Aksi damai pada hari Senin adalah jeritan pilu dari kami, para jurnalis Tubaba yang terluka. Ini adalah panggilan bagi kalian semua untuk membuka mata, membuka hati, dan merasakan sakitnya kami.
Kami tidak ingin terus meratap di tanah yang gersang ini. Kami ingin keadilan ditegakkan, kebenaran diungkap, dan hak-hak kami dipulihkan. Kami ingin pers Tubaba kembali bangkit dan menjadi pilar demokrasi yang kuat.
Semoga kalian dapat merasakan apa yang kami rasakan, dan semoga aksi kami pada hari Senin dapat membawa perubahan yang berarti bagi pers Tubaba. Ini adalah suara kami, suara para jurnalis Tubaba yang merindukan keadilan.