Oleh: Ansyori Ali Akbar | Kamis, 26/6/25. | Pukul.08.21.Wib.
Mentari masih enggan menyingkap tabir fajar, kabut tipis masih setia menyelimuti Desa Senja, namun di sebuah pondok kecil yang reyot namun teduh, seorang kakek renta bernama Pak Usman, yang telah melewati seratus tahun lebih tiga belas musim panen, telah terbangun.
Ubannya bagai salju abadi yang menempel lembut di kulit keriputnya, menceritakan bisikan-bisikan panjang perjalanan hidup yang penuh hikmah, sebuah sejarah hidup yang terukir dalam setiap garis dan lekukan wajahnya yang penuh cerita. Ia, seorang petani yang hidup selaras dengan detak jantung alam.
Seorang penyair tanpa kata yang setiap harinya merangkai syair kehidupan dengan tangan-tangan kasarnya yang terbiasa membelai tanah yang subur, tanah yang telah ia rawat dan beri makan selama lebih dari seabad. Sebelum embun pagi benar-benar mengering, sebelum langkah kaki tua itu, yang telah melangkah melewati ribuan hari menapaki ladang dan hutan, melangkah ke ladang yang luas membentang bak permadani hijau.
Sebelum kapaknya yang telah berumur seabad lebih membelah kayu bakar di hutan belantara yang sunyi, ada sebuah ritual yang selalu dijalani: menyeduh segelas kopi hitam tanpa gula.
Bukan sekadar minuman, kopi itu adalah teman setia, sebuah simfoni senja yang mengalun lembut di pagi hari, menemani seorang pertapa tua yang telah menyaksikan berganti-gantinya generasi.
Aroma kopi yang harum, tajam namun menenangkan, menyeruak di udara,bagaikan embusan angin pagi yang menyegarkan jiwa dan raga. Pak Usman, dengan tangan-tangannya yang telah penuh pengalaman, tangan yang telah merasakan dinginnya embun pagi dan panasnya terik matahari selama lebih dari seabad.
Menggiling biji kopi robusta pilihannya sendiri—biji-biji kopi yang ia tanam dan rawat dengan penuh kasih sayang, seperti merawat anak cucunya sendiri. Suara gilingan biji kopi yang lembut menjadi musik lembut yang mengawali harinya, menenangkan pikiran dan mempersiapkan hati untuk menerima berkah hari itu.
Berkah yang telah ia terima selama lebih dari seabad. Air untuk kopi direbus di atas tungku kayu sederhana, api unggun yang kecil namun memberikan kehangatan yang terasa membuai, kehangatan yang telah ia rasakan selama lebih dari seabad. Pak Usman memperhatikan proses perebusan air ini dengan seksama,.
Menunggu hingga air benar-benar mendidih dan mengeluarkan uap yang harum, uap yang telah ia hirup selama lebih dari seabad. Setelah air mendidih, ia menuangkan air panas ke dalam cangkir keramik tua kesayangannya—cangkir yang sudah retak di beberapa bagian, namun tetap ia jaga dengan baik, seperti ia menjaga kenangan-kenangan berharga dalam hidupnya.
,Kenangan yang telah ia kumpulkan selama lebih dari seabad. Ia tidak terburu-buru, menuangkan air secara perlahan dan merata, seolah memberikan penghormatan kepada biji kopi yang telah bertransformasi menjadi minuman yang menyegarkan. Aroma kopi yang harum memenuhi udara di sekitarnya, mencampur aroma tanah basah dan dedaunan yang masih segar.
Setelah kopi diseduh, Pak Usman menunggu beberapa saat agar kopi sedikit dingin. Ia lalu menyesap kopi tersebut secara perlahan-lahan, menikmati setiap tetesnya dengan penuh rasa syukur, syukur atas umur panjang yang telah diberikan Tuhan. Ia tidak menambahkan gula, karena baginya.
kepahitan kopi itu sendiri adalah sebuah kenikmatan yang mencerminkan perjalanan hidup yang penuh dengan pahit dan manis, perjalanan hidup yang telah ia lalui selama lebih dari seabad. Di saat menikmati kopi ini.
Ia selalu memanjatkan doa dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, melihat kopi sebagai simbol kehidupan itu sendiri, pahit dan manisnya merupakan bagian yang tak terpisahkan. Ia belajar untuk menerima segala sesuatu dengan lapang dada, seperti ia menerima setiap tegukan kopi hitam tanpa gula yang pahit namun menyegarkan.
Di tengah kesunyian pagi, ia merenungkan segala hal yang telah terjadi dan berdoa untuk hari yang akan dijalaninya, meminta kekuatan dan petunjuk untuk menjalani kehidupan dengan penuh hikmah, hikmah yang telah ia kumpulkan selama lebih dari seabad. Ritual kopi hitam tanpa gula bagi Pak Usman bukanlah sekadar minum kopi.
Namun sebuah persembahyangan kecil, sebuah percakapan bisu dengan Sang Pencipta, sebuah momen untuk berkontemplasi, bersyukur, dan mempersiapkan diri menghadapi aktivitas sehari-hari dengan penuh semangat dan keikhlasan, semangat dan keikhlasan yang telah ia pupuk selama lebih dari seabad.
Penulis : Ansyori Ali Akbar
Editor : A. Ali Akbar
Sumber Berita: Opini